Selasa, 29 April 2025

Menjadi Cahaya Kecil

Menjadi Cahaya Kecil

Membakar Diri Demi Menerangi Generasi

Oleh: [Agus Panca Sulistyono, Pembina Pramuka dan Pendidik Karakter]

“Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” – Nelson Mandela



Pramuka di Tengah Riuh Zaman

        Di tengah gelombang zaman yang kian menggila, ketika gawai lebih fasih berbicara daripada manusia, dan algoritma lebih dipercaya daripada nurani, masih ada segelintir jiwa yang memilih tetap menyalakan obor pendidikan karakter. Salah satunya adalah Pramuka—aktivitas yang sering dianggap kuno, namun justru menyimpan bara api perubahan yang tak lekang dimakan zaman. Di era di mana anak-anak lebih akrab dengan notifikasi TikTok daripada salam Pramuka, dan ketika jempol lebih cepat dari lisan dalam menyampaikan pesan, masih ada ruang yang konsisten menanam nilai: Pramuka. Di sekolah saya, kegiatan ini tidak sekadar formalitas hari Jumat, tapi nyala kecil yang menjaga api karakter tetap menyala.

        Sebagai pembina Pramuka, saya tidak hanya mengatur barisan dan menegur ketidakhadiran. Saya adalah penanam nilai, penyalur makna, dan—kadang—pemantik bara semangat di hati generasi yang mulai kehilangan arah karena terlampau sibuk mencari validasi digital. Sebagai pembina ekstrakurikuler Pramuka di sebuah sekolah menengah atas, saya berdiri bukan hanya sebagai pengawas kegiatan, tetapi sebagai penjaga api kecil yang berusaha tak padam di tengah terpaan angin pragmatisme pendidikan. Pramuka bukan sekadar kegiatan Jumat sore yang diisi dengan baris-berbaris dan yel-yel penuh semangat, melainkan ladang subur tempat karakter bertunas, tumbuh, dan kelak berbuah.


Dewan Ambalan: Tiang yang Tak Boleh Runtuh

        Saya percaya, pendidikan yang bermakna bukanlah tentang menjejalkan informasi, tetapi tentang membuka jendela dunia. Terutama bagi peserta didik kelas XI—mereka bukan lagi benih, melainkan batang muda yang harus kokoh menghadapi angin. Mereka adalah Dewan Ambalan—tiang penyangga kegiatan Pramuka, promotor ide, fasilitator gerakan, sekaligus panutan yang dilihat dan diam-diam ditiru oleh adik kelas. Kelas XI di Pramuka bukan sekadar jenjang angka. Mereka adalah Dewan Ambalan—pemimpin muda yang dilatih, ditempa, dan disiapkan tampil di depan adik-adik kelas. Tugas mereka bukan ringan: tugas mereka menjadi penyambung visi dan pelaksana misi, menghidupkan kegiatan mingguan, sekaligus menanamkan nilai kebersamaan dan tanggung jawab.

        Dalam pembelajaran yang saya rancang, mereka dilatih berbicara dengan benar, percaya diri, dan menguasai teknik public speaking. Tujuannya jelas: mereka bukan hanya penyampai informasi, tapi promotor dan fasilitator kegiatan. Mereka harus bisa tampil, bukan hanya hadir. Mereka harus bisa memimpin, bukan sekadar hadir saat foto bersama. Mereka saya ajari bukan hanya untuk bicara, tetapi berbicara dengan jiwa. Bukan sekadar public speaking, tetapi menyampaikan isi hati yang bisa menyentuh dan menggerakkan. Ya, berbicara itu mudah, tetapi berbicara yang membuat orang diam dan mendengarkan—itulah seni. Setiap kegiatan mingguan yang mereka rancang bukan hanya agenda kosong yang dijejali aktivitas seremonial. Di baliknya ada proses panjang: diskusi, debat, bahkan perbedaan pendapat yang kadang membuat ruang musyawarah seperti arena gladiator—tapi dari sanalah demokrasi bertunas. Persis seperti kata Bung Hatta, “Demokrasi tidak hanya membutuhkan suara, tetapi juga akal sehat dan etika.”


Bukan Sekadar Rapat, Tapi Musyawarah

        Sebelum setiap kegiatan, Dewan Ambalan berkumpul. Mereka tidak hanya membuat rundown, tapi bermusyawarah—berdebat dengan ide, bertukar gagasan, menyepakati keputusan. Di sinilah demokrasi kecil hidup. Saya membiarkan mereka merancang, lalu hadir sebagai fasilitator. Bila perlu, saya beri beberapa “plan B” agar ketika rencana gagal, mereka tidak tumbang bersama harapan. Saat mereka mulai bisa menyampaikan arahan dengan percaya diri, terlihat satu hal yang jarang ditemukan di dunia maya: ketulusan. Mereka belajar berdiri tegak, bukan karena tidak takut, tetapi karena tahu apa yang mereka perjuangkan. Mereka bukan selebgram dengan ribuan pengikut, tetapi pemimpin sejati dengan satu nilai: tanggung jawab

        Menurut laporan Kompas, 2024, Indonesia menghadapi krisis kepemimpinan muda: rendahnya komunikasi verbal dan lemahnya pengambilan keputusan mandiri. Pramuka, dengan segala kesederhanaannya, justru menjadi ruang latihan yang nyata—bukan simulasi, tetapi praktik langsung, generasi muda Indonesia kini menghadapi tantangan besar: rendahnya kemampuan komunikasi lisan dan lemahnya kemampuan memimpin. Di sinilah Pramuka hadir sebagai oase di tengah gurun kompetensi. Di tengah kurikulum yang serba digital dan kadang dehumanistik, kegiatan ini mengembalikan manusia pada hakikatnya: makhluk sosial yang berpikir dan bertanggung jawab.


Berbicara dengan Hati, Bukan Hanya Mulut

        Saya tekankan: menjadi pemimpin bukan hanya soal berbicara di depan banyak orang, tetapi menyentuh hati mereka. Public speaking tanpa empati adalah seperti komando kosong—keras, tapi tak bergema. Saya berperan sebagai fasilitator—bukan dalang yang menggerakkan boneka. Saya dorong mereka berpikir kritis, menyusun rencana, dan—yang paling penting—menyiapkan rencana cadangan. Karena hidup, sebagaimana kegiatan Pramuka, seringkali tidak berjalan sesuai skrip. Dan saat rencana A gagal, mereka tahu bahwa alfabet punya 25 huruf lain yang bisa dipakai. Tidak semua berjalan mulus. Ada yang gugup saat berbicara, ada yang bingung menyusun kegiatan, bahkan ada yang diam membatu saat ditanya. Tapi saya percaya, dari kegugupan itu akan lahir keberanian; dari kebingungan muncul kreativitas. Dan dari keheningan bisa tumbuh keyakinan. 
        Maka, saya latih mereka tidak hanya berbicara lantang, tapi juga membaca situasi, meresapi emosi, dan menyampaikan maksud dengan hati. Karena pada akhirnya, adik-adik mereka bukan robot yang menunggu perintah, tapi manusia yang menunggu teladan.
Gugup Itu Manusiawi, Tapi Diam Itu Bencana. Tentu tidak semua mulus. Ada yang gugup, ada yang kaku, bahkan ada yang memilih diam saat diberi kesempatan berbicara. Tapi justru dari ketidaksempurnaan itulah tumbuh proses. Saya ajarkan mereka: gagal itu biasa, tapi tidak mencoba adalah kejahatan terhadap diri sendiri. “Karakter bukan dibentuk saat orang melihatmu, tetapi saat tidak ada yang menyaksikan,” kata John Wooden. Maka, saya tanamkan kepada para Dewan Ambalan: integritas itu lebih penting daripada penampilan. Boleh tampil keren, asal tak lupa jujur. Boleh cakap berbicara, asal tak lupa mendengarkan.

        Saya kadang sarkastik, “Kalau kamu hanya berani ngomong saat story Instagram, mungkin kamu lebih cocok jadi influencer, bukan pemimpin.” Dan biasanya mereka tertawa, lalu bangkit. Sarkasme, jika tepat dosisnya, bisa menjadi vitamin keberanian. Dari sini, lahirlah pembelajaran sejati. Mereka belajar bukan dari buku semata, tetapi dari dinamika kelompok, dari tumpah ruahnya pendapat, dari keberanian untuk mencoba dan gagal. Mereka belajar bahwa jadi pemimpin bukan soal perintah, tapi tentang melayani dan memengaruhi dengan hati.

Menjadi Lilin di Gelap

        Saya tidak mengharapkan mereka menjadi matahari. Cukuplah mereka menjadi lilin kecil di ruang yang gelap, menyala, memberi arah. Dalam setiap kegiatan yang mereka pimpin, saya melihat cahaya itu tumbuh—dari ragu menjadi yakin, dari diam menjadi bicara, dari ikut menjadi pelopor.

“Karakter adalah apa yang kamu lakukan ketika tak ada yang melihat.” – John Wooden
Belajar Memimpin, Belajar Manusia

        Kegiatan ini bukan tentang membuat mereka sibuk, tapi membuat mereka dewasa. Mereka belajar: memimpin adalah tentang melayani, menyusun rencana adalah tentang berpikir jangka panjang, dan menghadapi masalah adalah soal kesabaran dan komitmen. Dan saat mereka berhasil memimpin kegiatan, mengarahkan adik-adik kelas dengan percaya diri, hati saya ikut berkobar. Seperti lilin yang membakar dirinya demi menerangi yang lain, saya percaya mereka akan jadi cahaya—walau kecil, tapi cukup untuk menunjukkan jalan.
        Mereka juga belajar bersosialisasi—bukan dengan likes dan emoji, tapi dengan diskusi dan kerja tim. Mereka belajar tanggung jawab—bukan untuk nilai rapor, tapi karena mereka sadar ada adik-adik yang menunggu arahan.

Pramuka: Masih Relevan? Sangat.

        Di tengah kurikulum yang penuh target, ranking, dan asesmen, Pramuka adalah nafas. Ia tidak mengejar angka, tapi nilai. Ia tidak menarget hasil, tapi proses. Ia bukan untuk dikomentari di media sosial, tapi untuk dihidupi.

        Dan selama masih ada satu anak yang belajar jujur dari permainan regu, masih ada satu pemuda yang berani berbicara di forum kecil, saya yakin: Pramuka belum mati. Ia hanya menunggu untuk dipahami kembali. Maka, kepada semua pendidik yang lelah, jangan padam. Karena mungkin dari tangan kita, lahir satu generasi yang jujur, cerdas, dan berani. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Dan saya tambahkan: setiap Jumat menjadi harapan.

Pesan Moral:
1. Pendidikan karakter tak bisa digantikan teknologi.
2. Menjadi pemimpin itu dilatih, bukan dicetak instan.
3. Kegagalan adalah bahan bakar pertumbuhan.
4. Berani bicara berarti berani bertanggung jawab.
5. Jangan padam, walau jadi satu-satunya cahaya.


Penutup:
 Di akhir setiap latihan, saat semua kembali ke kelas, dan lapangan menjadi sepi, saya tersenyum. Bukan karena kegiatan selesai, tapi karena saya tahu: satu langkah kecil telah diambil untuk masa depan besar mereka. Dan mungkin, suatu hari nanti, mereka akan jadi cahaya bagi orang lain—dan berkata, “Dulu, saya belajar ini saat Pramuka.”







Menjadi Cahaya Kecil

Menjadi Cahaya Kecil Membakar Diri Demi Menerangi Generasi Oleh: [Agus Panca Sulistyono, Pembina Pramuka dan Pendidik Karakter] “Pendidikan ...